I Am Moslem, and I Proud Be A Moslem !
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum
warahamatullohi wabarokatuh
Ketika seseorang berjalan di tengah padang
gersang yang sangat panas. Sedangkan, dirinya hanya bersandarkan alas kaki yang
sudah usang untuk dipakai. Matahari dengan sangat terik menyuntik panas ke
dalam sanubarinya. Dirinya tenggelam dalam keringat yang entah kapan
berakhirnya. Terus berjalan. Tapak kaki menjadi saksi bisu mencetak jejak-jejak
langkahnya yang lelah. Di tangannya tidak ada apa-apa. Hanya sebuah kompas
usang yang sudah tidak terpakai. Rusak oleh kelelahannya. Ia berjalan ke barat,
beberapa menit kemudian ke utara, beberapa jam kemudian ke timur. Di garis
horizon hanya hamparan padang pasir saja yang terlihat. Ia bingung ke arah mana
ia harus berjalan. Hingga akhirnya …
Begitulah
seseorang yang berjalan tanpa arah. Kompas (Hidayahnya) yang sudah dimilikinya
pun rusak karena kelelahannya (takjub dunia). Kebingungan untuk mencari
petunjuk kemana ia harus melangkah. Kehilangan “Jati diri” nya sebagai seorang
manusia, sebagai seorang pembawa kedamaian, sebagai seorang makhluk yang
diamanahkan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.
Betapa
pentingnya sebuah konsep “jati diri” di dalam diri kita. Bila diibaratkan, jati
diri adalah landasan berpacu sikap kita
yang berakar dari mind atau fikiran untuk menunjukkan sosok atau wujud diri
sebenarnya secara implisit (Rijal, 2012) . Seseorang dengan sikap atau
tutur kata yang baik, belum tentu ia memiliki jati diri yang baik. Karena, jati
diri bersifat implisit dimana kehadirannya tidak bisa dirasakan secara konkret.
Sikap atau tutur kata yang dapat di amati secara eksplisit, bisa saja di
manipulasi, laiknya sebuah jeruk, berwarna kulit seperti manis, namun ternyata
ketika dibuka masam rasanya.
Seorang
muslim, tentu memiliki jati diri yang nantinya akan berbuah menjadi sebuah
karakter. Muslim adalah sebutan bagi
mereka yang sudah dengan yakin untuk menentukan pedoman hidupnya, untuk memeluk
sebuah keyakinan yang membawa rahmatan
lil alamin, dan sebuah peng-amal-an secara menyeluruh (kaffah) sesuai
dengan akar katanya, S L M. Islam, akar kata dari muslim, memiliki beberapa
definisi. Secara etimologis, terdapat empat pengertian islam, yakni:
1.
Aslama. Berserah diri, pasrah,
mengabdikan diri. (QS. Al-Anam (6) : 14 ), (24 : 51), (33 : 36)
2.
Salima. Selamat. ( 2: 112)
3.
Sallama. Menyelamatkan oranglain.
4.
Salaam. Kedamaian/ kesejahteraan hidup
di dunia dan akhirat kelak.
Dari definisi tersebut, kita sebagai
seseorang yang menyandang title ‘Muslim’
patut merasa beruntung dan bersyukur, karena kita memiliki misi-misi mulia yang
secara komprehensif, menjadi panutan seluruh alam dimana kita mampu bermanfaat
untuk diri sendiri dan juga oranglain sehingga kesejahteraan hidup baik dunia
maupun di akhirat mampu kita raih dengan baik.
Ia
terus berjalan dan terus berjalan. Dalam hatinya, sebenarnya ia ingin menyerah.
Dalam fikirannya, ‘lebih baik mati saja daripada hidup kosong tanpa arah, toh
berjalan pun tidak ada ujungnya’. Dia pun berada dalam titik kulminasinya.
Tiba-tiba ia melihat sebuah oase. Penuh dengan air yang melimpah. Wajahnya
sumringah dan kegirangan. Di dalam oase itu, ia menemukan sebuah kotak usang.
Sepertinya sudah lama tidak dibuka. Di dalamnya berisi ‘suhuf-suhuf’ atau
lembaran-lembaran yang menunjukkan syarat dan cara dia untuk keluar dari padang
pasir nan gersang ini…
‘Seseorang yang hidup
namun jiwanya tidak dipenuhi oleh cahaya iman, ia ibarat mayat hidup’. Imam
syafi’i berkata seperti itu untuk mengibaratkan seseorang yang kosong dengan
cahaya iman.
Ikhwah
Fillah,
Di dalam mengarungi
hidup ini, ada beberapa karakter yang harus dimiliki oleh diri kita sebagai
seorang muslim. Sebuah karakter, sebuah ciri yang mampu menunjukkkan eksistensi
kita dan mampu menjadi pembeda dengan yang lain. Setidaknya, ada sepuluh (10) karakter
yang menjadi ciri seorang muslim sejati. Sepuluh karakter itu yakni:
1.
Salimul Aqidah atau aqidah yang bersih.
Merupakan sesuatu yang harus ada dalam diri seorang muslim. Dengan aqidah yang
bersih, seorang muslim memiliki ikatan yang kuat kepada Alloh SWT sehingga di
dalam perannya sebagai khalifah, ia
mampu berjalan dengan benar dan sesuai tuntunan yang digariskan. Seorang muslim
harus memiliki karakter ini sehingga ia mampu menjadi pribadi optimis yang
menyandarkan atau menyerahkan segala perbuatannya hanya kepada Alloh SWT (
6:162).
2.
Shahihul Ibadah atau ibadah yang benar.
Seorang muslim sejati, memiliki sebuah konsekuensi amanah. Ia harus mampu
beribadah dengan shahih sesuai dengan
tuntunan AlQuran dan AlHadits. Rosululloh bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana
kamu melihat aku shalat”. Ini berarti, segala ibadah kita harus merujuk ke
dalam As-Sunah yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan ataupun
pengurangan.
3.
Matinul Khuluq atau akhlaq yang kokoh.
Rosululloh di utus untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Akhlaq menjadi ciri
khas seorang muslim dimana kesempurnaan akhlaq yang kita contohkan dari suri
tauladan yakni Rosululloh harus menjadi dasar pribadi kita, menjadi merk kita kepada oranglain. Baik akhlaq
kepada Alloh, maupun akhlaq kepada sesama makhluq.
4.
Qowiyyul Jismi atau kekuatan iman
merupakan salah satu sisi pribadi muslim
yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seseorang muslim memiliki daya
tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran islam secara optimal dengan
fisiknya yang kuat.
5.
Mutsaqqoful Fikri atau intelek dalam
berfikir.
6.
Mujahadatul Linafsihi atau berjuang
melawan hawa nafsu.
7.
Haritsun Ala Waqihi atau pandai menjaga
waktu.
8.
Munzhzhamun fi syuunihi atau keteraturan
dalam segala urusan.
9.
Qodirun alal kasbi atau sering kita
sebut dengan mandiri.
10.
Nafiun Lighoirihi atau bermanfaat untuk
oranglain.
Kesepuluh
karakter seorang muslim di atas menjadi syarat bila kita ingin menjadi seorang
muslim sejati. Selain dari kesepuluh karakter itu, DR. Yusuf Qardawi
menyampaikan secara lebih sederhana karakter seorang muslim ke dalam tiga
karakter, yakni karakter afiliatif, karakter
partisipatif, dan karakter kontributif.
Karakter
afiliatif pada dasarnya adalah
kepekaan kita terhadap yang terjadi di sekeliling kita. Karakter partisipatif, pada dasarnya adalah
kepekaan yang lebih jauh dari karakter afiliatif
dimana dalam karakter ini kita sudah melibatkan diri atau ikut
berpartisipasi. Dan yang terakhir, karakter kontributif, memiliki kadar yang lebih tinggi lagi karena
kita langsung berkontribusi dengan
membuat gagasan-gagasan yang dilaksanakan langsung.
Baik
kesepuluh ataupun ketiga karakter ini, sama-sama menjadi sebuah ciri untuk
menjadi seorang muslim sejati. Karakter yang berangkat dari sebuah jati diri
yang baik dan sebuah keyakinan yang kokoh, mampu menjadi penunjuk jalan kita
dalam memenuhi tugas kita di dunia ini yakni sebagai khalifatulloh atau
khalifah Alloh di muka bumi.
Menjadi
seorang muslim adalah sebuah kebanggaan. Sandangan gelar ‘ ‘muslim’ haruslah
menjadi sebuah citra tersendiri. Meski dalam realitasnya, banyak dari kita yang
bangga dengna gelar duniawinya. Gelar atau status yang di sandangnya dan
terkadang malah merasa malu untuk menampakkan dirinya sebagai seorang muslim
sejati. Bahkan lebih parahnya, malah ada orang yang berbangga dengan
title-title tambahan, seperti muslim
moderat, muslim radikal, ataupun title-title lainnya. Yang harus kita
fahami, bahwa, menjadi seorang muslim itu adalah kebanggaan tersendiri.
Menyandang diri sebagai seorang muslim adalah sebuah keniscayaan bagi mereka
yang selalu merindukan perubahan di dalam dirinya. Terkadang, kita ditertawakan
oleh oranglain, di cemooh oleh oranglain ketika kita membawa pribadi muslim
kita kepada khalayak. Namun, yang harus diyakini ikhwah fillah, ini memang sudah menjadi sunnatulloh seperti di
dalam firman Alloh QS. Al-Muthafifin ayat 29- 36 . Biarkan mereka begitu dan
jangan merasa rendah diri terhadap mereka. Hanya Alloh lah yang menjadi
penolong kita, Innalloha Ma Ana. Yakinkan itu di dalam pribadi kita.
Suhuf-suhuf
itupun dibaca dengan baik. Syarat-syarat dan petunjuk akhirnya didapatkan oleh
ia seorang pencari jalan. Setelah berisitirahat di oase, dan membaca suhuf itu,
ia faham apa yang harus dilakukan. Ternyata, banyak yang salah di dalam
dirinya. Akhirnya, dengan petunjuk yang berada dalam suhufu itu, ia mampu
menemukan jalan keluar dari padang nan gersang itu. Ia meyakini bahwa,
“Petunjuk dalah hidup itu sangatlah wajib untuk dimiliki. Dan syarat-syarat
untuk memenuhinya harus dicermati dan menjadi dasar untuk memenuhi
petunjuk-petunjuk itu”.
Barakalloh.
Wassalamu’alaikum
warahamatullohi wabarakatuh.
Komentar
Posting Komentar