ODONG-ODONG, KONSERVASI TERAKHIR LAGU ANAK-ANAK

Bonus demografi menjadi isu terhangat hari ini. Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) dari Universitas Gadjah Mada –Dr. Sukamdi, M.Sc- menyatakan bahwa pada tahun 2020 Indonesia mengalami fase dimana 2/3 dari seluruh jumlah penduduk berada dalam masa usia produktif. Menyambut hal itu, diperlukan suatu upaya yang serius sehingga fenomena demografi ini dapat menjadi berkah, bukan musibah.

Salah satu aspek terpenting yang menjadi parameter kesiapan Indonesia menyambut fenomena ini adalah pendidikan. Generasi muda yang dalam beberapa tahun ke depan akan beranjak menjadi bagian dalam barisan fenomena demografi ini perlu disiapkan dengan baik. Solusi yang diberikan bukan hanya berfokus kepada standar hasil dimana “anak lulus dengan nilai tes yang baik”, akan tetapi pula bagaimana “fase anak berkembang sesuai dengan usianya”. Tanggungjawab mendidik anak tidak bisa dilimpahkan kepada salah satu pihak saja –semisal sekolah-, namun perlu menjadi tanggungjawab bersama antara sekolah, masyarakat, dan keluarga itu sendiri sebagai lingkungan asal anak.

Berbicara mengenai perkembangan anak, sebelum teknologi serta fashion berkembang dengan pesat, dahulu kita mengenal bersama bagaimana lagu anak-anak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Beberapa lagu,  -semisal : Abang Tukang Bakso, Diobok-obok, dan Si Kancil- menjadi konsumsi bagi anak-anak pada masa itu. Hari ini lagu anak-anak tersebut hanya menjadi media nostalgia, tanpa menjadi konsumsi primer anak-anak. Anak-anak malah asyik mendengarkan lagu-lagu bertema cinta atau patah hati yang diperuntukkan untuk remaja atau orang dewasa. Padahal, anak merupakan orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat yang berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan (Sobur, 1988).

Lagu anak-anak hanya menjadi komoditas sampingan yang kurang terperhatikan. Jika hari ini terdengar kembali, lagu anak-anak biasanya hanya di re-cycle tanpa ada kreativitas dalam penciptaan lagu-lagu baru. Padahal hasil studi yang dipublikasi PLoS One membenarkan hipotesis bahwa musik yang dimainkan secara ekspresif oleh manusia memicu emosi dan memicu aktivitas saraf tertentu pada otak.

Solusi makro perlu dipersiapkan oleh pemerintah secara menyeluruh karena pendidikan bukan hanya berada dalam jenjang formal saja. Sedangkan berbicara solusi mikro, sudah saatnya hari ini orangtua mampu untuk menyajikan pendidikan keluarga yang sesuai. Selain daripada itu, pemerintah daerah perlu lebih serius dalam mengatasi permasalahan ini. Upaya sistematis diperlukan yang lahir dari sinergisasi antar elemen masyarakat, sebelum lagu anak-anak benar-benar hilang. Yaaaaah, mungkin hari ini kita perlu berterimakasih kepada odong-odong atas jasanya dalam meng-konservasi lagu anak-anak.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembelajaran Terpadu: Connected (Keterhubungan)

Semakin Belajar, Semakin Tidak Tahu

Ekosistem dan Komponen-komponennya